29 August 2007

Lidah Para Pendengki

Untuk alasan seni, sastrawan sering melakukan ekpresi ”liar” nya. Bahkan, dengan kebenciannya. Rasulullah pernah akan ”memotong” lidah sastrawan karena hal ini

Hidayatullah.com--Umar bin Khaththab dan Ali bin Abi Thalib adalah dua sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaih wa sallam yang dikenal sangat bersahaja. Keduanya memiliki beberapa sifat dan perilaku yang sama, di samping memiliki watak dan tabiat yang berbeda. Perbedaan waktak dan tabiat itu pula yang menyebabkan keduanya sering berbeda dalam memandang dan menyikapi suatu hal atau peristiwa.

Umar dikenal sebagai sahabat yang temperamental, tegas dan lugas. Dalam menerjemahkan sesuatu ia lebih bersifat letter lijk. Sebaliknya, Ali lebih luwes, dalam memandang sesuatu tidak hitam putih. Ia lebih menonjolkan pemahaman substantif daripada makna lahiriyahnya, termasuk dalam memahami sabda Rasulullah.

Seusai perang Hunain, seperti biasa Rasulullah membagi-bagikan harta ghanimah (pampasan perang) kepada pasukan yang ikut terlibat dalam peperangan. Empat per lima dibagikan secara merata sesuai dengan peran dan tugasnya masing-masing, sedangkan seperlimanya, sebagaimana ketentuan Al-Qur’an adalah hak Rasulullah secara utuh.

Dalam hal ini Rasulullah berhak untuk memberikan kepada siapapun yang dikehendakinya, termasuk anggota keluarganya.

Dalam setiap kali membagikan harta pampas an perang, Rasulullah Saw senantiasa berusaha keras untuk bersikap adil, karenanya beliau sangat berhati-hati. Namun demikian ada saja perorangan atau kelompok tertentu yang merasa kurang mendapatkan keadilan. Salah seorang di antara mereka adalah Abbas, seorang mu’allaf (yang baru saja masuk Islam dan harus dilunakkan hatinya). Abbas sebelumnya dikenal sebagai penyair yang pandai munggubah syair. Terdorong oleh perasaan ketidakpuasanya, ia mencela kebijakan Rasulullah saw dengan menggunakan kepandaiannya bersyair. Mendengar hal tersebut beliau sambil tersenyum kemudian bersabda: “Bawa orang itu kemari dan potong lidahnya.”

Mendengar perintah Rasulullah saw tersebut, para sahabat langsung mencari penyair busuk tersebut, termasuk Umar dan Ali bin Abi Thalib. Ketika si Abbas, penyair busuk itu ditemukan, hampir saja Umar melaksanakan perintah Rasulullah, yaitu memotong lidahnya. Untunglah Ali bin Abi Thalib ada di situ. Ia ikut campur tangan dan segera menyeret si pesakitan yang sudah pucat pasi wajahnya karena ketakutan itu ke lapangan yang masih dipenuhi binatang ternak hasil pampasan perang. Kepada Abbas, Ali bin Abi Thalib kemudian berkata: “Ambillah sebanyak yang kamu suka!”

“Apa?”, tanya Abbas tak percaya. “Begitukah cara Nabi memotong lidahku? Demi Allah, aku tidak mau mengambil sedikit pun, “ katanya sambil menahan malu.

Sejak saat itu Abbas tidak pernah menulis syair mengenai Rasulullah saw kecuali puji-pujian.

Tulisan ini tidak menilai dan membahas sikap Umar dan Ali, tapi justru ingin mendalami sikap Abbas, penyair yang karena ketidakpuasannya kemudian menggubah syair-syair cacian kepada Nabi.

Abbas adalah contoh manusia pendengki. Ia merasa sebagai manusia istimewa yang berhak mendapatkan perlakuan istimewa dari siapa pun juga, termasuk dari Rasulullah saw. Bukankah ia seorang penyair? Begitu pikirnya. Bukankah dengan kepandaiannya bersyair ia dapat mempengaruhi pikiran orang lain dan memaksakan ide, gagasan, dan kemauannya?

Ketika ia mendapatkan perilaku ‘biasa-biasa’ saja atau diperlakukan sama seperti orang lain pada umumnya, ia protes, marah. Hatinya bergolak, tidak mau menerima. Ia ingin mendapatkan bagian yang lebih, bahkan jika perlu bagian orang lain diberikan kepadanya. Hatinya tidak bisa menerima manakala ia mendapatkan bagian yang sama dengan orang lain, apalagi jika jatahnya kurang dari orang lain.

Para pengdengki selalu tidak merasa puas dan bahagia manakala orang lain mendapatkan kenikmatan dan keberuntungan, sebaliknya mereka malah senang bila orang lain mendapatkan celaka atau kerugian. Inilah sifat khas yang dimiliki setiap pendengki.

Para pendengki itu biasanya tidak cukup mampu menahan gejolak emosinya. Mereka cenderung meluapkan ketidakpuasannya melalui tindakan negatif yang merugikan orang lain. Kadang malah tak peduali siapa yang akan menjadi korbannya, apakah orang yang langsung terkait ataupun tidak dengannya. Cara yang paling lazim digunakan oleh mereka adalah dengan memfitnah dan menggunjingkan sesama.

Kepada ummat Islam yang masih memelihara sifat dengki, dan menggunakan gunjingan sebagai sarana pengungkapan kebenciannya, Allah swt telah membuatkan pemisalan yang sangat tepat dalam firman-Nya:

”Janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakahh salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?” (Al-Hujuraat: 12)

Tapi sebagian besar para pendengki tidak menyadari hal ini, mereka bahkan menjadikan gunjingan dan fitnah sebagai hobi dan pemuas hati. Mereka baru mau berhenti melakukan kekejian tersebut jika korbannya sudah berjatuhan. Mereka puas jika orang lain sakit, celaka atau merugi.

Dari sedikit penjelasan ini kita dapat mengetahui bahwa dengki merupakan perbuatan yang merugikan diri sendiri. Betapa banyak energi yang mereka gunakan secara sia-sia hanya untuk menyakiti, menggunjing, dan menfitnah orang lain. Betapa banyak energi jiwa yang dihabiskan hanya untuk marah, benci, dan tidak puas ketika menyaksikan orang lain mendapatkan keberuntungan. Betapa banyak kesia-siaan yang harus dilakukan hanya untuk sebuah kedengkian.

Ketika tetangganya membeli mobil baru, ia bukannya bersyukur dan ikut berbahagia. Yang diperlihatkan justru sikap-sikap negatif, seperti: membenci, marah, dan perasaan tidak senang. Perasaan itu kadang diungkapkan melalui kata-kata kasar atau sindiran yang menyakiti perasaan.

Bayangkan, berapa banyak dosa yang mesti ditanggung para pengdengki. Ketika ia mendengki, ia telah menanggung dosa. Ketika ia meluapkan perasaannya dalam bentuk ucapan atau isyarat tubuh, ia mendapat tambahan dosa. Ketika ia melakukan fitnah dan menggunjingkan orang lain, bertambah lagi dosanya. Apalagi jika berlanjut hingga sampai pada tindakan negatif, berupa permusuhan. Inilah dosa yang berlipat ganda.

Mengingat bahayanya para pendengki itu, Allah mengajarkan kepada kaum Muslimin untuk melazimkan membaca surat Al-Falaq, khususnya pada saat-saat menjelang tidur atau menjelang malam. Pada surat itu ummat Islam bermohon kepada Allah agar dilindungi dari tindakan negatif musuh-musuhnya, yang salah satunya adalah para penghasud.

Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh, dari kejahatan makhluq-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki. (Al-Falaq: 1 5)

Ayat ini secara gamblang menunjukkan bahwa para pendengki itu tidak hanya membahayakan dirinya sendiri, tapi juga membahayakan orang lain. Bahkan bahayanya setingkat dengan bahaya yang ditimbulkan oleh para tukang sihir, juga bahaya yang ditimbulkan orang-orang yang berbuat jahat di malam hari.

Jika para pendengki itu orang awam mungkin saja bahayanya bisa diminimalkan. Akan tetapi jika yang menjadi pendengki itu adalah orang-orang yang memiliki pengaruh, tokoh, pemimpin, ulama atau orang-orang yang memiliki otoritas keilmuan dan keahlian, maka dapat dipastikan bahaya yang ditimbulkannya pasti besar. Korbannya tidak sedikit, dan tentu rehabilitasinya juga tidak gampang.

Itulah sebabnya, Nabi tidak membiarkan Abbas, sang penyair itu menjalankan aksinya secara bebas. Mulutnya harus segera dibungkam, dan lidahnya harus dipotong. Untuk memotong lidahnya, Nabi punya cara, dan kita perlu menirunya. [diambil dari Majalah Hidayatullah/Abu Saif/www.hidayatullah.com]