30 September 2007

Hari Ini, Sepiring Berdua

'Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya?'' (QS. Al-Qashash : 60) Suatu ketika seorang suami pulang dari kantor membawa sekotak nasi. Ia disambut oleh istrinya yang sedang hamil anak pertamanya. Dengan perasaan bersalah, sang suami menatap sedih dan segera menyodorkan kotak itu kepada istrinya "Bunda, hari ini kita makan sepiring berdua yah!". Sekalipun sang istri seharian baru makan nasi sisa dari malam sebelumnya, ditambah lauk mentega, ia dengan sabar menjawab, "Iya tidak apa-apa.

Tapi kasihan ayah, kan hari ini puasa...". Sang suami itu pun membalasnya dengan tenang untuk menutupi dan menahan rasa sedihnya menghadapi ujian rezeki kala itu. "Alhamdulillah, ini yang kita dapatkan hari ini". Sedangkan pikirannya sudah terisi kegundahan, apa yang akan dimakan esok hari. Begitulah salah satu gambaran nuansa kehidupan sebuah keluarga. Ada kalanya sebuah keluarga mengalami masa-masa kekurangan dan kesempitan. Terlebih lagi bagi mereka yang mengawali rumah tangga dengan kondisi ekonomi yang serba terbatas. Hidup yang memprihatinkan harus dijalani dengan pengorbanan dan kemampuan 'berhitung' terhadap pengeluaran dan pemasukan.

Berdirinya sebuah rumah tangga dapat diawali dengan adanya kesepakatan pasangan terhadap berbagai hal. Yang terpenting, masing-masing dapat menjaga citra diri demi berlangsungnya pernikahan. Semangat ini pun mesti dibalut dengan keyakinan bahwa rezeki pasti akan diperoleh. Meski demikian, setelah akad nikah, dalam perjalanan hidup rumah tangga, komitmen yang telah disepakati tak jarang berubah menjadi hal yang berbeda. Selain karena perubahanan waktu dan suasana, keinginan dan harapan yang ada akan mengarahkan pada sesuatu yang lebih ideal untuk diwujudkan. Bahkan hal-hal yang dulu tidak sempat kita pikirkan, satu per satu akan mulai tampak.

Yaitu, mulai dari sifat, sikap, dan kemampuan pasangan dalam menghadapi dan mengelola hiruk pikuk rumah tangga. Masalah-masalah yang sebenarnya sepele, sangat mungkin menimbulkan permasalahan sehingga memicu ketidakharmonisan hubungan antara suami istri. Pasangan suami istri yang tengah menghadapi ujian seperti itu, sebaiknya menengok kembali kesepakatan yang pernah dibuat bersama dengan penuh tanggung jawab. Tidak saling menyalahkan atau bahkan membebankan dan menuntut kepada suami atau mencari kesalahan dan sebab akibat kepada istri, merupakan salah satu alternatif solusi terbaik. Dalam rumah tangga tak mungkin antara suami dan istri hidup hanya berdasarkan kebutuhan dan keputusan masing-masing. Semuanya harus bersama siap menghadapi berbagai risiko.

Nikmati sebuah 'tim kerja' yang diikat oleh ikatan hati dan semangat dalam kebersamaan. Dalam keadaan yang tak nyaman inilah menjadi saat tepat untuk memperbaharui komitmen dan membuat rencana kedepan yang lebih matang. Mulailah membangun indahnya kebersamaan penuh kesabaran. Terimalah keadaan dengan menikmatinya dan berbahagia dengan apa yang ada. Janganlah ragu untuk menahan diri dari meminta dan berharap dari orang lain. Pertahankan harga diri bersama-sama, sekalipun harus makan sepiring berdua atau menahan lapar bersama-sama. Curahkan isi hati kepada orang-orang yang bijak dan memiliki ilmu. Masukan pendapat orang lain tak jarang akan membuat cara kita berpikir dan bertindak lebih memiliki nilai ilmu daripada mengedepankan emosional.

Semuanya itu tak pelak pada akhirnya akan mengantarkan kita lebih mengerti apa yang seharusnya dilakukan. Tambahkan kekuatan semangat dalam menjalani kehidupan dengan terus mendekat kepada pemilik kehidupan ini dalam rangkaian ikhtiar kita. Ringankan hati dengan terus berupaya berbaik sangka terhadap semua yang terjadi pada diri kita. Sadarilah bahwa episode yang terlewati merupakan jalan mematangkan dan memuliakan diri kita di hadapan-Nya. Dalam situasi apapun, bila kita telah memperbaiki komitmen, maka tak ada sesuatu hal yang sulit dan menyedihkan. Sebab kita akan mengetahui arti senang ketika telah merasakan kesedihan. Maka janganlah sedih bila hari ini makan malam kita hanya sepiring berdua. Wallahu'alam.

( Mahyudin Purwanto )

Menyikapi Godaan

Puasa adalah suatu bentuk latihan spiritual yang dapat mengubah kualitas kepribadian seorang Muslim dari sekadar ''paham dan yakin'' (beriman) menjadi ''terkendali'' (bertakwa). Tentunya untuk menuju ke arah bertakwa tidak sekadar menahan lapar, dahaga, dan hubungan seks. Akan tetapi, harus mampu mengendalikan godaan-godaan duniawi. Baik berupa harta, keluarga, atau jabatan yang kita miliki.

Dalam hadis, Rasulullah bersabda, ''Tidak ada seorang pun yang berjalan di air kecuali tumitnya pasti basah. Demikian pula orang yang memiliki duniawi, ia tidak bisa selamat dari dosa-dosa.'' (HR Baihaqi dari Anas). Hadis ini menerangkan bahwa setiap manusia tidak luput dari godaan-godaan duniawi yang bermuara kepada dosa. Hal ini karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang memiliki dua dimensi; jasmani dan rohani.

Unsur jasmani manusia berasal dari tanah, yang selalu mengajak manusia untuk memenuhi hawa nafsu. Sedangkan unsur rohaninya adalah ruh yang ditiupkan oleh Allah kepadanya. Oleh karena berasal dari Tuhan, maka ia selalu mengajak manusia untuk meredam pengaruh jasmani dan mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah SWT.

Pada hakikatnya, kekotoran jiwa yang dialami manusia tidaklah permanen. Ini karena fitrah dan asal kejadian manusia adalah suci dan mulia. Hanya saja, pada diri manusia itu terdapat potensi-potensi yang bisa menodai jiwa yang suci. Maka, ketika noda-noda itu mulai menempel pada ''kertas putih'' jiwa, haruslah ia segera menyucikan dirinya dengan bertobat.

Dalam bertobat ini ia harus meningkatkan akhlak yang baik dan meninggalkan akhlak yang buruk. Akhlak yang buruk pada dasarnya timbul karena ada syahwat atau godaan keinginan duniawi yang dapat menjadikan manusia melupakan Allah. Di antara hal tersebut adalah lawan jenis, harta, kekuasaan, dan kecintaan kepada pujian.

Apabila seorang manusia telah tergoda oleh syahwatnya, maka ia akan lebih mementingkan dirinya sendiri. Kemudian jika keinginan ini bergesekan dengan keinginan yang sama dari manusia lainnya, maka timbullah dendam, kemarahan, dan kebencian antara satu dan yang lain. Sifat-sifat buruk inilah yang harus dibuang dari sifat manusia. Dalam bahasa agama, usaha untuk mengosongkan diri dari sifat-sifat buruk adalah ber-takhalli.

Hendaknya, Ramadhan kali ini kita bisa menghiasi jiwa ini dengan menanamkan iman kepada Allah dan menanamkan sifat-sifat keutamaan dalam diri sehingga dipenuhi sifat kebaikan. Seluruh sifat kebaikan ini akan menjadi ''penghapus'' noda dan kotoran dosa yang telah diperbuat sebelumnya. Rasulullah bersabda, ''Dan ikutkanlah kebaikan atas kejahatan sebagai penghapus baginya.''

Mudah-mudahan Ramadhan kali ini, kita mampu meyikapi segala godaan duniawi, sehingga dapat menggapai derajat muttaqin.

26 September 2007

Awas Demam Riya!

Rasulullah sangat khawatir dengan penyakit ini. Sebab, ia lebih berbahaya dari demam berdarah atau penyakit hati yang kini menjadi "pembunuh" nomor satu

Suatu ketika, di yaumil akhir, berlangsung pengadilan terhadap tiga orang laki-laki. Yang pertama kali diadili adalah orang yang gugur sebagai syahid. Ia kemudian dipanggil oleh Allah.

Kepadanya kemudian diperlihatkan amal perbuatannya. Ia pun mengakui perbuatannya ketika berperang membela agama hingga akhirnya gugur sebagai syahid. Kemudian Allah bertanya:

“Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkannya (mati syahid).”

“Aku berperang demi (mendapat) ridha-Mu hingga aku gugur di medan jihad,” jawab lelaki itu.

“Kamu berdusta,” sergah Allah. “Kamu berperang agar dikatakan pemberani dan sungguh kamu telah mendapatkannya,” sambung Allah lagi. Kemudian Allah memerintahkan agar orang tersebut diseret dan dilemparkan ke dalam neraka.

Selanjutnya Allah memanggil orang yang kedua, yakni seorang lelaki yang tekun menuntut ilmu dan mengajarkannya. Ia juga rajin membaca Al-Quran. Seperti yang pertama, ia pun diperlihatkan amal perbuatannya. Setelah ia mengenalinya, Allah bertanya:

“Apa yang telah kamu perbuat dengannya (menuntut ilmu)?”

“Saya menuntut ilmu, mengajarkannya kepada yang lain dan membaca Al-Quran demi Engkau, ya Allah,” jawab lelaki itu.

“Kamu berdusta!” kata Allah berfirman. “Kamu menuntut ilmu agar dibilang orang pandai dan kamu membaca Al-Quran agar dikatakan sebagai qori yang bagus (bacaannya), dan sungguh kamu telah memperolehnya,” ungkap Allah.

Kemudian Allah memerintahkan agar orang tersebut diseret dan dilemparkan ke neraka.

Berikutnya Allah mengadili orang yang ketiga yakni seorang lelaki yang dilapangkan dan dikaruniai Allah kekayaan yang melimpah. Kepadanya diperlihatkan amal perbuatannya. Ia pun mengenalinya. Lalu Allah bertanya:

“Apa yang kamu perbuat terhadap harta bendamu?”

Lelaki itu menjawab: “Saya tak pernah melewatkan kesempatan menafkahkan harta benda di jalan-Mu dan itu saya perbuat demi Engkau, wahai Tuhanku”.

Allah berfirman: “Kamu berdusta! Kamu tidak melakukan itu semua kecuali dengan pamrih agar kamu dibilang sebagai dermawan. Dan kamu telah mendapatkan semua yang kamu inginkan."


Selanjutnya Allah memerintahkan agar orang tersebut diseret dan dilemparkan ke neraka.

Niat yang Menentukan

Amal baik belum tentu bernilai baik sebelum diketahui niatnya. Bisa saja manusia memberi gelar pahlawan kepada seseorang yang memiliki keberanian dan tanggung jawab yang besar dalam membela agama dan negaranya, akan tetapi Allah yang Maha Mengetahui yang nampak dan yang tersembunyi. Maka Allah jualah yang akan memberikan penilain-Nya tersendiri. Allah tidak menilai seseorang dari yang zhahirnya saja, tapi juga dari yang tersembunyi yaitu niat atau motivasinya. Bisa jadi seseorang dihormati karena kedalaman ilmu dan keluasan wawasannya.

Tapi di sisi Allah, seorang ulama baru dianggap bernilai bila ia ikhlas dalam mencari ilmu dan tulus ketika mengajarkan dan menyebarluaskannya. Ketika ada motivasi lain, sekecil apapun, pasti terdeteksi oleh ke-Mahatahuan-Nya. Allah berfirman:

”Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan yang ada di bumi. Dan jika kamu menampakkan apa yang ada dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatan itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 284)

Demikian pula halnya dengan orang kaya yang dermawan, belum tentu kedermawanannya berkenan di hadapan Allah. Boleh jadi kemurahannya dalam memberi digerakkan oleh niat-niat tertentu yang dapat merusak pahala sadaqahnya.

Orang-orang yang menerima sumbangannya tidak mengetahui niat orang tersebut, tapi Allah saw selalui memonitor gerak hati seseorang. Dia menilai tidak sekadar dari lahirnya, tapi lebih penting lagi adalah niatnya. Itulah sebabnya, niat dalam ajaran Islam menempati posisi sentral dan sangat menentukan.

Rasulullah saw bersabda: ”Sesungguhnya segala amal perbuatan itu tergantung kepada niat, dan sesungguhnya tiap tiap orang memperoleh sesuatu sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang berhijrah di jalan Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu ialah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrah karena ingin memperoleh keduniaan atau untuk mengawini seorang wanita, maka hijrahnya adalah kea rah yang ditujunya tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sabda Rasulullah di atas dilatarbelakangi oleh pengaduan seseorang yang menyampaikan bahwa di antara orang-orang yang hijrah ke Madinah menyusul hijrahnya Rasulullah saw ada seseorang yang berhijrah karena ingin mengawini seorang wanita yang bernama Ummu Qais.

Pada mulanya lelaki itu ingin tetap tinggal di Mekah, akan tetapi karena Ummu Qais yang hendak dinikahinya mengajukan syarat bahwa ia mau dinikahi jika lelaki itu hijrah ke Madinah, maka akhirnya sang lelaki itu terpaksa turut hijrah demi kekasihnya.

Dalam kehidupan sehari-hari ada contoh yang sederhana. Di siang hari yang panas, seorang lelaki masuk ke mesjid. Secara lahiriyah perbuatan itu sangat terpuji.

Akan tetapi siapa tahu niat yang tersembunyi dalam hatinya. Bisa jadi ia masuk ke mesjid dengan niat untuk istirahat. Jika niatnya seperti itu, maka ia akan memperoleh yang diniatkannya. Ia terhindar dari sengatan matahari dan terlepas dari rasa penat. Lain halnya jika ia meniatkan untuk i’tikaf. Boleh jadi ia mendapatkan kedua-duanya, yaitu pahala sekaligus istirahat yang cukup. Dalam kenyataannya, banyak sekali perbuatan manusia yang motivasinya campur aduk antara ikhlas dan riya’.

Misalnya, orang yang menunaikan ibadah haji seringkali niatnya tidak semata-mata untuk ibadah, tapi jauh sebelum keberangkatannya mereka sudah membuat rencana untuk membeli perhiasan, makanan, pakaian dan oleh-oleh lainnya untuk disebarkan kepada kerabatnya di tanah air.

Demikian pula halnya dengan orang yang menuntut ilmu, banyak yang niatnya tidak untuk memperoleh ridha Allah, tapi agar kelak dihormati dan disanjung masyarakat sebagai orang yang berilmu. Atau agar kelak mendapat pekerjaan yang baik, pangkat dan jabatan mentereng serta berkuasa di tengah masyarakatnya.

Seseorang yang shalat malam (tahajjud) mungkin saja niatnya murni, semata-mata ingin bertaqarrub dengan Allah swt. Akan tetapi ada pula seseorang yang menjalankan shalat malam karena niat 'daripada tidak bisa tidur' atau karena dia sedang berjaga, daripada bengong.

Secara syar’i, ibadahnya orang yang disebutkan di atas tetap sah dan tidak batal, akan tetapi kurang afdol. Ibadahnya sah, tapi kurang sempurna karena beribadah kepada Allah menuntut adanya kemurnian niat (ikhlas) semata-mata karena Allah.

Al-Quran menandaskan: “Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab (Al-Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): ‘Kami tidak menyembah mereka kecuali supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya.’ Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS. Az-Zumar: 2-3)

Riya’ merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya, bahkan lebih berbahaya dari demam berdarah atau aids sekalipun. Itulah sebabnya Rasulullah saw sangat khawatir dengan penyakit ini. Beliau takut ummatnya terjerumus pada penyakit yang beliau sebut sebagai syirik yang tersamar itu.

Beliau bersabda: "Sesungguhnya yang saya takuti menimpa atas kamu ialah syirik kecil (syirkul ashghar). Para sahabat bertanya, 'apakah yang dimaksud dengan syirik kecil itu, ya Rasulallah?' Nabi menjawab: 'Riya’, (yakni) ketika manusia datang untuk meminta balasan atas amal perbuatan yang mereka lakukan. Maka Tuhan berkata kepada mereka : 'Pergilah kamu menemui orang-orang yang karena mereka kamu beramal (riya') di dunia niscaya kamu akan sadar apakah kamu memperoleh balasan kebaikan dari mereka?”. [Hamim Tohari, Tulisan ini diambil dari rubrik ”Hikmah” di Majalah Hidayatullah/www.hidayatullah.com]

24 September 2007

ramadhan karim

Ibadah puasa dipahami oleh ulama al-Azhar, Abdul Halim Mahmud, sebagai proses meneladani sifat-sifat Allah. Kaum Muslim diperintahkan agar dapat meniru dan meneladani sifat-sfat Allah yang mulia itu. Nabi bersabda, ''Berakhlaklah kamu seperti akhlak Allah SWT.''

Sebagaimana diketahui, Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Pengasih (al-Rahman) dan Penyayang (al-Rahim). Nabi Muhammad SAW adalah juga seorang yang pengasih (ra'uf) dan penyayang (rahim). Kaum Muslim melalui ibadah puasa yang dilakukan diharapkan dapat memiliki sifat rahmah, sehingga mereka dapat membangun kehidupan ini dengan penuh cinta dan kasih sayang.

Dalam bahasa Alquran, kasih sayang itu disebut 'rahmah' yang menurut pakar tafsir al-Ishfahani bermakna Ra'fatun taqtadhi al-Ihsan ila al-Marhum (rasa iba yang mendorong seseorang berbuat baik kepada orang lain, terutama orang yang memiliki kesulitan dan membutuhkan pertolongan).

Secara spiritual, kasih sayang dapat dipandang sebagai pangkal kebaikan. Diceritakan, Rasulullah SAW pernah menangis (mengeluarkan air mata) ketika putranya meninggal dunia. Ketika ditanya, Rasulullah SAW menjawab, ''Ini adalah kasih sayang. Siapa yang tidak memiliki kasih sayang, tidak ada kebaikan yang bisa diharapkan dari orang itu,'' sambung Nabi.

Seperti halnya Nabi, kita perlu memupuk dan menumbuhkan sifat kasih sayang itu dalam hati dan jiwa kita. Ada dua cara yang bisa dilakukan. Pertama, menumbuhkan sense of crisis, yaitu semangat untuk mengerti kesulitan dan penderitaan orang lain. Sifat ini akan mendorong kepekaan dan kepedulian sosial kita.

Kedua, menumbuhkan sense of achievement, yaitu semangat untuk maju dalam arti memiliki kemampuan untuk membebaskan manusia dari segala penderitaan. Sifat dan semangat yang kedua ini penting, karena bila kita terbelit kesusahan, sulit dibayangkan kita bisa membantu dan membebaskan kesulitan orang lain.

Semoga ibadah puasa yang kita lakukan dapat menumbuhkan dan menghidupkan kasih sayang itu dalam diri kita, sehingga keberagamaan kita benar-benar menjadi rahmat bagi sesama dan semesta alam. Amin.

( Ilyas Ismail )

ramadhan karim

Hakikat dari pelaksanaan ibadah shaum Ramadhan adalah imsak, yakni menahan diri dari makan, minum, berhubungan suami istri, dan segala hal yang membatalkan ibadah puasa Ramadhan. Sedangkan hakikat imsak tersebut adalah kesadaran kita bahwa sebagai hamba Allah SWT bahwa kita sedang melaksanakan kewajiban yang Dia fardhukan untuk kita, yakni ibadah shaum.

Kesadaran itu adalah kesadaran hubungan kita dengan Allah (idrak shilah billah). Kesadaran bahwa Allah adalah Al Khaliq, yakni Sang Maha Pencipta yang telah menciptakan manusia, kehidupan, dan alam semesta tempat manusia hidup. Kesadaran bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT dengan tujuan agar mereka beribadah kepada-Nya.

Kesadaran bahwa Allah SWT telah membuat seperangkat aturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia sehingga manusia bisa berjalan di atas bumi dengan mengikuti petunjuk aturan Allah SWT tersebut. Kesadaran bahwa bilamana manusia berjalan di muka bumi di atas aturan Allah tersebut, manusia akan terpenuhi kebutuhannya dan akan terjamin kemaslahatannya. Dan bilamana perjalanan di muka bumi di dalam track peraturan-Nya itu mereka tempuh dengan sepenuh keimanan dan keikhlasan, maka Allah janjikan kepada mereka akan mendapat keridhaan serta surga-Nya.

Oleh karena itu, ketika memulai imsak pada saat terbit fajar (waktu Shubuh), seorang Muslim menyadari bahwa dia sedang on line dengan Allah SWT. Dia sadar bahwa dia sedang beribadah kepada-Nya dengan menetapi ketentuan-Nya, yakni menahan diri pada periode imsak (Shubuh sampai Maghrib) dari makan dan minum serta berhubungan suami istri yang pada malam harinya atau pada siang hari di bulan lain hal itu dihalalkan.

Kesadaran sebagai hamba Allah yang menaati perintah-Nya itulah yang membuat dia mudah dan tahan serta antusias melakukan imsak. Kesadaran itulah yang pada gilirannya akan melahirkan kekuatan spiritual (al quwwah ar ruhiah) dalam dirinya sehingga mampu menahan lapar dan haus serta mengendalikan hawa nafsunya. Kekuatan spiritual yang terlahir dari kesadaran akan hubungan dengan Allah SWT itu merupakan kekuatan yang tiada tara, dia melebihi kekuatan fisik maupun kekuatan mental manusia.

Kekuatan itu menjadikan manusia melebihi kekuatan aslinya. Sebab dia dipinjami kekuatan oleh Allah Yang Mahaperkasa. Pantaslah para sahabat Rasulullah SAW dahulu mampu mengayunkan pedang di siang hari di panas terik di atas padang pasir bertarung melawan tentara kafir dalam keadaan berpuasa. Wallahu a'lam bish-shawab.

23 September 2007

Tidak pernah kita hitung, sejak kapan kita menjalankan puasa wajib di bulan Ramadhan. Rasanya belum lama kita berpisah dengan Ramadhan tahun lalu, dan alhamdulillah kini kita berjumpa lagi. Tentu saja, kita menaruh harapan dan semangat agar puasa kita tahun ini lebih baik dari puasa-puasa tahun sebelumnya. Sekalipun merasakan haus dan lapar, sungguh unik bahwa kita menjalankannya dengan kegembiraan, antusiasme, dan kekhusyukan. Kita tidak pernah jemu, jengkel, dan merasa direpotkan oleh datangnya Ramadhan.

Ibadah puasa ini tidak saja dikaji menurut kaidah hukum agama, sekarang bahkan berbagai professi keilmuan, khususnya kedokteran dan psikologi, ikut memperkaya analisis ibadah puasa dalam rangka menggali hikmah yang dikandungnya. Praktik puasa sebenarnya tidak hanya dikenal dalam ajaran Islam, melainkan juga pada umat sebelum kerasulan Muhammad. Bahkan dalam tradisi-tradisi di luar agama Ibrahimi juga dikenal praktik puasa sekalipun dengan niat dan cara yang berbeda. Allah berfirman, "Hai, orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu. Agar kamu bertakwa". (QS Al Baqarah [2]: 183).

Substansinya sama
Dengan demikian, perintah puasa yang kita jalankan sekarang ini memiliki sejarah panjang dalam perkembangan manusia. Sejarah puasa adalah sejarah manusia-manusia beragama terdahulu. Perintah puasa memiliki masa lalu, masa sekarang, dan masa mendatang, bagi umat manusia. Tentu saja, puasa kita hari ini berbeda dengan puasa 'orang-orang beriman sebelum kamu'. Bentuk dan kaifiyah pelaksanaan puasa kita dan puasa mereka tidaklah sama. Namun, intinya adalah mengembalikan supremasi spiritual atas dunia fisik dan psikis.

Nabi Adam dan istrinya, Hawa, diperintahkan 'berpuasa' untuk tidak memakan buah khuldi. Menurut para ahli tafsir, kata buah khuldi sebuah kata simbolik yang memiliki banyak makna. Salah satunya adalah objek yang menimbulkan rasa ingin tahu dan nafsu manusia untuk hidup kekal dengan mengejar dan memiliki kenikmatan fisikal, sehingga bisa menjauhkan manusia dari Tuhannya.

Dalam kisah Alquran disebutkan, "Hai Adam, ambillah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang dzalim" (QS Al Baqarah [2]: 35).

Namun, mereka tidak mampu mengendalikan diri mereka dari godaan setan. Mereka melanggar 'perintah puasa', karenanya, Allah pun menurunkan 'siksa' bagi mereka dengan dikeluarkan dari surga (simbol kenikmatan) menuju dunia (simbol cobaan). Ayat tadi memberikan isyarat begitu kuat bahwa sesungguhnya larangan Allah itu sangat sedikit dibandingkan anugerah yang dihalalkan.

Jika dipahami secara metaforis, ayat ini menyadarkan kita bahwa sesungguhnya begitu banyak anugerah Allah yang dibentangkan untuk manusia, dan jangan sekali-sekali anugerah yang melimpah itu hilang karena kita tergelincir oleh hawa nafsu yang mengejar hal-hal kecil dan kenikmatan sesaat. Bumi Indonesia yang melimpah dengan nikmat Allah, kini pemerintah dan rakyatnya miskin karena perilaku pemimpinnya tidak mampu berpuasa menjauhi pohon terlarang, yaitu korupsi.

Nabi Dawud juga mengajarkan puasa dengan berselang hari. Sehari berpuasa sehari berbuka. Adapun Maryam, ibunda Nabi Isa, mengajakan berpuasa untuk menahan diri, tidak berbicara, ketika menghadapi lingkungan sosial yang tidak berguna, bahkan kolutif (QS Maryam [19]:26). Dalam konteks sekarang, Maryam mengajak kita menahan diri agar tidak hanyut ke dalam dunia gosip yang bisa mengotori hati dan pikiran.

Di sini jelas bahwa perintah puasa tidak saja memiliki kesinambungan dan kelanjutan dalam sejarah manusia, namun mengandung edukasi bagi pengembangan dan pembersihan diri. Dalam konteks Islam, kesinambungan dan kelanjutan bisa bermakna penyempurnaan. Dan untuk itulah Islam yang dirisalahkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai agama terakhir setelah agama Yahudi dan Nasrani, mengandung makna sebagai agama penerus dan penyempurna.

Yang dimaksud penyempurna di sini adalah penyempurna bagi praktik dan pelaksanaan ibadah-ibadah agama 'orang-orang beriman terdahulu', termasuk juga perintah berpuasa. Puasa merupakan ibadah yang mendorong kita melatih untuk menguasai dan mengendalikan diri (the art of self-mastery) agar tidak terjebak ke dalam kubangan yang menghinakan martabat diri. Hari-hari selama bulan puasa terasa bagaikan 'medan perang' yang kita usahakan untuk mengalahkan egoisme yang menguasai dan mengendalikan kita. Namun, yang lebih fundamental adalah bagamana kita menemukan dan menguatkan kembali komitmen moral-spiritual kita dengan ibadah puasa ini. Jadi, pesan puasa bukan sekadar 'menahan diri', tetapi mensucikan dan menumbuhkan, serta memperkuat komitmen moral-spiritual.

Atmosfer Ilahi
Segala rutinitas konsumeristik, agenda materialistik, serta sikap dan perilaku kapitalistik yang menjadi keseharian kita, selama Ramadhan kita hentikan untuk menemukan kembali kesucian dan kefitrian kita. Mari kita perbanyak waktu untuk berkontemplasi, membaca buku yang bermutu, dan memperbanyak berbuat kebajikan, mulai saat kita sahur menjelang fajar hingga kita buka puasa saat matahari tenggelam. Dengan begitu, selama sekitar 30 X 24 jam kita benar-benar berada dalam atmosfer ilahi. Dengan demikian, kita berdoa semoga hidayah Alquran akan nuzul (turun) dan menjadi penuntun bagi hati, pikiran, dan perilaku kita.

Peningkatan intensitas dan kuantitas ibadah kita kepada Allah selama puasa Ramadhan itu tentu saja memberi ruang, kesempatan, dan perhatian terhadap pertumbuhan dan perkembangan kualitas ketakwaan kita untuk menjalani agenda hidup di bulan-bulan pasca-Ramadan. Salah satu ciri orang yang bertakwa adalah yang selalu merasakan kehadiran dan kedekatan Tuhan di manapun berada, sehingga seseorang lebih terdorong untuk selalu berbuat kebajikan, menghindari tindakan apapun yang menjauhkan diri dari Tuhan.

Ibadah Ramadan untuk memperoleh derajat ketakwaan akan mengajak kita untuk menjalani hidup dengan antusias, ikhlas, dan senantiasa mengarah pada peningkatan kualitas moral, bukannya hidup yang malah dibebani oleh ambisi mengumpulkan materi yang sifatnya instrumental, lalu diubah posisinya menjadi objek-fundamental.

Sekali lagi, kenikmatan, kedamaian, dan kekhusyukan di dalam bulan Ramadhan sungguh kita menanti-nantikan kedatangannya. Dan kita belum tentu berjumpa lagi dengan bulan yang penuh pesona spiritual seperti Ramadan ini. Malaikat telah turun ke bumi menyambut hamba-hamba Allah yang beriman, yang merindukan kedekatan dengan Allah, yang lapar dan hausnya akan mampu mengusir setan, dan doa serta rintihan hatinya di malam hari akan menjadi nyanyian merdu membuka pintu langit menjemput curahan rahmat, ampunan dan keberkatan Allah. Semoga Allah memberi kekuatan dan petunjuk pada bangsa Indonesia untuk menuju masyarakat adil dan makmur.

Ikhtisar
- Puasa bukan hanya menjadi kewajiban umat sekarang, tapi juga umat terdahulu sejak zaman Nabi Adam.
- Hanya, puasa umat terdahulu dan umat sekarang berbeda dalam hal teknis, namun sama substansinya yaitu untuk mengembalikan supremasi spiritual.
- Karena itu, momentum Ramadhan harus bisa digunakan untuk menghentikan segala rutinitas konsumeristik, materialistik, dan kapitalistik.
- Seluruh waktu selama Ramadhan, haruslah diisi dengan atmosfer Ilahi yang mendekatkan diri kita dengan Tuhan.

ramadan karim

Alkisah, suatu hari seorang laki-laki menghadap Ibrahim ibn Adham, seorang sufi ternama, mengadukan persoalan pribadinya yang suka lupa diri, tergiur oleh kenikmatan dunia dan berbuat maksiat. ''Ada lima hal yang harus kau laksanakan untuk menangkal maksiat yang menyerangmu,'' Ibrahim ibn Adham memulai nasihatnya.

''Sampaikan kelima hal itu kepadaku, wahai Syekh,'' kata lelaki itu.
''Pertama, bila kamu hendak melakukan durhaka kepada Allah, bisakah kamu memakan rezeki selain rezeki-Nya?,'' papar Ibrahim. ''Tentu saja tidak mungkin. Bukankah semua yang ada di bumi ini adalah rezeki-Nya?'' Jawab lelaki itu.

''Kedua, ketika kamu hendak bertindak durhaka kepada Allah, bisakah kamu tidak menginjak bumi-Nya?''
''Sungguh tidak mungkin. Di mana aku bisa bertempat tinggal selain di bumi ini?'' kata lelaki itu.
''Ketiga, bila kamu tetap ingin mendurhakai-Nya, cobalah kamu mencari tempat lain yang tidak diketahui oleh siapa pun juga agar kamu dapat leluasa berbuat maksiat.''

''Bagaimana mungkin aku dapat melakukannya. Bukankah Dia mengetahui apa pun yang aku kerjakan, di manapun, dan kapan pun?'' kata lelaki itu. ''Keempat, ketika datang malaikat untuk mengambil nyawamu, mintalah kepadanya waktu penundaan. Mintalah waktu bertobat, sehingga kamu bisa beramal saleh.''

''Ini juga mustahil, Syekh,'' jawab lelaki itu.
''Kelima, bila di hari kiamat nanti malaikat membawamu ke neraka akibat dosa-dosamu, mampukah kamu menolaknya?''
''Juga sangat mustahil, wahai Syekh,'' kata lelaki itu.

Demikianlah, nasihat Ibrahim ibn Adham yang diangkat oleh Ibnu Qudamah al-Maqdisy, Mukhtasharu Kitab al-Tawabin sesungguhnya juga berlaku buat kita semua, terlebih ketika berada di bulan Ramadan. Sebagaimana dinyatakan dalam Alquran, barang siapa berbuat kebaikan maka sesungguhnya dia tengah menabung kebaikan untuk dirinya.

Sebaliknya, barang siapa berbuat kejahatan, maka dia tengah merintis jalan ke neraka untuk dirinya. Dan sesungguhnya berbagai larangan Allah itu kesemuanya semata kasih sayang-Nya pada manusia dan hamba-Nya yang beriman dan senang beramal saleh. Semoga kita tidak termasuk golongan orang-orang yang lupa terhadap diri dan lupa pada Tuhannya.

sejarah bali

kerajaan bali parasasti sanur [839\917]menujukan adanya ke kuasaan raja raja dari wangsa atau dinasti warmadewa [jawatimur]. prasasti calcuta :tentang asal asalraja airlangga keturunan raja raja bali dinasti warmadewa.[singhadwala]raja sri kesari warmadewa [dinasti warmadewa tahun 835\913m raja ugrasema[915-942] menggantikan raja srikesari warmadewa raja tabanenedra warmadewa ?ia memeperintah bersama permausuri nya yang bernama sangratu luhursubhadrika dhara dewi . rajajayasingha warmadewa?
masa kerajaan kepepinan nya tidak dapat di ketahui secara pasri.prasasti rakryan?memuat pengem balian ke kuasaan raja raja jaran.kehidupan sosail ?orang yang tidak memegang [emerintahan tetapi samakan dengan sudra di india

19 September 2007

Ramadhan 1428 H

di bulan puasa kita harus menahan emosi dan menahan amarah dan berbanyak lah membaca al- quran,persabar lah jika ada orang lain yang menghina kita harus berucap terimakasih atas ucapan kamu terhadap saya,perbanyaklah amaldan sodakoh
pada bulan pausa ini jika kita sia-siakan pada bulan pausa ini kita akan menyesal di akhir nanti .
mengapa kita tidak bisa menahan emosi dan amarah kita jika ada masalah terhadap orang -orang tersebut dan allah mau memeberi cobaan terhadap orang-orang yang telah ibadah puasa dan allah akan memberi pertolongan terhadap orang yang periman

Ramadhan 1428 H

Hakikat shaum (puasa) sesungguhnya bukanlah hanya sekedar menahan lapar dan dahaga, akan tetapi menahan diri dari ucapan dan perbuatan kotor yang merusak dan tidak ada manfaatnya. Bahkan juga kemampuan untuk mengendalikan diri terhadap cercaan dan makian orang lain. Itulah sebagian dari pesan Rasulullah SAW terhadap kaum Muslimin yang ingin puasanya diterima Allah SWT (HR Ibn Huzaimah, Ibn Hibban, dan al-Hakim).

Pada umumnya orang yang berpuasa mampu menahan diri dari makan dan minum, dari terbit fajar sampai dengan terbenam matahari, sehingga puasanya sah secara hukum syariah. Akan tetapi, banyak yang tidak mampu (mungkin juga kita) mengendalikan diri dari hal-hal yang mereduksi dan bahkan merusak pahala dari puasa yang kita lakukan. Pertama, ghibah, menyebarkan keburukan orang lain, tanpa bermaksud untuk memperbaikinya. Tetapi hanya agar orang lain tahu, bahwa seseorang itu memiliki aib dan keburukan.

Kedua, memiliki pikiran-pikiran buruk dan jahat, dan berusaha melakukannya. Seperti ingin memanfaatkan jabatan dan kedudukannya untuk memperkaya dirinya, terus-menerus melakukan korupsi, mengurangi takaran dan timbangan, mempersulit orang lain, melakukan suap-menyuap atau pun perbuatan buruk lainnya. Dan jika hal itu semua dilakukan, maka perbuatan tersebut dapat mereduksi, bahkan juga dapat menghilangkan pahala serta nilai-nilai puasa itu sendiri.

Ketiga, sama sekali tidak memiliki empati dan simpati terhadap penderitaan orang lain, yang sedang mengalami kelaparan, penderitaan; miskin dan tidak mampu serta tidak memiliki apa-apa. Orang yang berpuasa, akan tetapi tetap berlaku kikir dan bakhil, maka nilai puasanya akan direduksi bahkan dihilangkan oleh Allah SWT.

Oleh karena itu, mari kita berpuasa dengan benar, baik secara lahiriyah (tidak makan dan minum), maupun juga mempuasakan hati dan pikiran kita dari hal-hal yang buruk. Latihlah pikiran dan hati kita untuk selalu lurus dan jernih, disertai dengan kepekaan sosial yang semakin tinggi, dan berusaha membantu orang-orang yang sedang mengalami kesulitan hidup. Wallahu a'lam bi ash-shawab.

11 September 2007

Sembilan Tim Rukyat NU Jatim Gagal Melihat Hilal

-- Sebanyak sembilan tim "rukyatul hilal" (melihat rembulan dengan mata telanjang untuk menandai pergantian kalender) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PW NU) Jawa Timur, Selasa petang, gagal melihat "hilal" (rembulan usia muda pertanda awal kalender).

"Dari sembilan lokasi itu, ada satu lokasi di Pantai Serang, Blitar yang melakukan rukyat dalam cuaca cerah, sehingga sempat melihat matahari terbenam tapi tidak melihat hilal muncul, sedangkan lokasi lainnya terhalang mendung," kata Wakil Rois Syuriah PWNU Jatim KH Miftachul Akhyar.

Didampingi Wakil Ketua PWNU Jatim H Sholeh Hayat SH memantau laporan tim rukyatul hilal NU Jatim, ia mengatakan NU Jatim sendiri dilarang PBNU mengeluarkan "ikhbar" (pengumuman) tentang hasil rukyatul hilal untuk memutuskan akhir Sya'ban atau awal Ramadhan yang berarti memulai puasa Ramadhan.

"NU Jatim dilarang mengeluarkan ikhbar seperti tahun-tahun sebelumnya, karena ikhbar dinyatakan sebagai hak PBNU, tapi kami akan tetap mematuhi Hasil Muktamar Situbondo bahwa NU akan mengawali puasa dengan rukyatul hilal, maka bila kami melihat hilal tapi PBNU menolak, tentu kami akan menggunakan alasan agama," katanya.

Hingga pukul 20.00 WIB, katanya, PBNU belum menerbitkan "Ikhbar Ramadhan", meski pun PW NU Jatim telah melaporkan hasil dari sembilan tim rukyat NU Jatim sejak petang. "Kalau memang hilal gagal di-rukyat, puasa akan mulai Kamis (13/9). Jadi, Rabu (12/9) sudah mulai tarawih dan sahur," kata Ketua PWNU Jatim DR KH Ali Maschan Moesa MSi yang turut memantau laporan tim rukyat NU Jatim sambil menunggu 'ikhbar' dari PBNU.

Sembilan lokasi rukyat NU Jatim adalah pantai Nambangan, Kenjeran, Surabaya; menara Masjid Agung Al-Akbar Surabaya (MAS), Bukit Condrodipo, Gresik; Tanjungkodok, Lamongan; pantai Serang, Blitar; pantai Plengkung, Banyuwangi; pantai Pasir Putih, Situbondo; pantai Glendong, Tuban; dan pantai Pacitan. "Ada satu lokasi yang sebenarnya juga kira pakai rukyatul hilal yakni di pantai Ambet, Pamekasan, Madura, tapi hingga rukyatul hilal akan dimulai tidak ada koordinasi," kata Wakil Ketua PWNU Jatim H Sholeh Hayat SH